Selasa, 28 Agustus 2007

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit



Buku kumpulan Mahfudzat kecil itu masih setia menemani. Aku terpaku pada satu baris yang menurutku sangat menarik, bunyinya begini: Saari’ ila ma rumta ma dumta qaadiran ‘alaihi, fain lam tubshirinnujha fashbir”. Artinya kira-kira begini: “Segeralah Kamu menuju apa yang kamu inginkan selagi kamu bisa melakukannya, dan jika kamu masih belum berhasil, bersabarlah”.

Ada beberapa hal menarik dari kata-kata mutiara di atas. Utamanya adalah tentang cita-cita dan harapan akan masa depan. Yang membuat kita masih hidup dan bertahan adalah harapan. Selagi masih ada harapan, kita masih punya semangat untuk hidup. Karena itu, penting sekali bagi kita untuk terus mengobarkan harapan dan cita-cita.

Dan kalau bercita-cita, kata guru-guru kita dari dulu, gantungkanlah cita-cita kita setinggi langit, jangan tanggung-tanggung. Dengan cita-cita yang tinggi, maka setiap hari kita punya harapan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sangat disayangkan sebenarnya, pelajaran tentang membuat cita-cita dan tujuan hidup itu lebih banyak berhenti pada saat kita lulus SD. Setelah itu, tidak ada lagi guru yang bertanya apa cita-cita dan harapan masa depan kita? Padahal, pertanyaan itu menjadi salah satu tujuan paling penting dalam hidup seseorang.

Tanpa adanya tujuan yang terarah, hidup ini sangat mudah untuk diombang-ambingkan oleh godaan-godaan kenikmatan (yang lebih banyak terkadang sesaat), dibandingkan untuk terus lurus mengejar cita-cita. Lha wong yang sudah ada tujuan yang jelas aja sering belak-belok ke sana kemari, apalagi ngga punya tujuan hidup.

Karena itu, ada baiknya, moment 17 Agustus ini menjadi bahan renungan kita, karya apa yang sudah kita kerjakan, dan apa yang ingin kita kerjakan, dan apa yang ingin kita tuju? Ini percis, banner besar yang pertama kali dibentangkan saat datang ke Gontor: “Ke Gontor Apa Yang Kau Cari?”

Ketika cita-cita dan tujuan itu sudah ada, langkah selanjutnya adalah orang harus punya AMBISI untuk mencapai cita-cita itu. AMBISI akan menjadi daya dorong yang luar biasa hebat yang memungkinkan seseorang mempunyai tenaga ekstra dalam hidupnya. Makanya, kata-kata mutiara di atas menyebut kata “Sa’ari’, LARI, CEPAT, yang berkonotasi SPEED, dan tidak BERLEHA-LEHA.

Ini mengandung arti sederhana: jangan pernah menunda apa yang menjadi jalan kita untuk mencapai tujuan hidup. Tengok kanan-kiri adalah hal lumrah, tetapi hal itu tidak boleh menghambat langkah kita dalam mencapai tujuan hidup. Apa yang menghalangi kita biasanya adalah pikiran kita sendiri. Kita terbelenggu oleh pemikiran tentang keterbatasan dan ketidakberdayaan yang seringkali hanya ada di kepala kita, dan tidak betul-betul terjadi di lapangan.

Kata-kata “qadara”, yang dalam bentuk lain menjadi “taqdir”, berarti ukuran di mana paramater ukurannya itu adalah pikiran kita sendiri. Karena itulah, saatnya mengepakkan sayap pikiran kita ke dalam apa yang diiklankan ponds sebagai “freedom of mind”, atau lagunya Steven and Coconut Tree: “I’m Free, I’m Free Like a Bird”.

Jadi, apa yang menghalangi kita? “Sky is my limit”, tidak ada yang menghalangi kita kecuali diri kita sendiri, dan itu akan mengubah seluruh pandangan kita tentang hidup dan harapan ke depan.

Tapi jangan lupa, bahwa cita-cita itu tidak bisa dicapai begitu saja. Jakarta keras, bung, begitu juga kota-kota lain di dunia. Selalu harus ada yang dikorbankan untuk bisa mencapai sesuatu, dan itu adalah pilihan hidup kita. Untuk bisa menjadi pintar misalnya, orang harus mengorbankan waktu-waktu bersenang-senangnya, dan lebih banyak menghabiskannya untuk belajar.

Pilihan itu yang membuat aku juga sadar, aku sejak tiga tahun lalu bercita-cita untuk menjadi Finalis L-Men. Itu lho, kontes badan sehat yang perutnya bisa six pack. Tapi, aku ngga berusaha mengorbankan waktuku untuk ke gym, atau mengorbankan lidahku untuk mengurangi makan. Akhirnya, cita-cita itu sebatas cita-cita, walaupun aku juga masih gantungkan setinggi langit. Entah kapan aku bisa mencapainya, karena di dalam hati yang paling dalam, aku masih pengin bisa mencapai itu…..

Nah, setelah kerja keras itulah, ada satu hal lagi yang menurutku juga penting; penyerahan diri secara total, dalam bahasa agamanya adalah Ikhlas. Keikhlasan bahwa kerja keras kita adalah bentuk pengabdian sebagai hamba kepada Tuhan. Jika ada kesuksesan, maka kita bersyukur bahwa nikmat itu diberikan Tuhan, tetapi jika belum ada kesuksesan, kita tetap SABAR.

Di sini, saya mendapatkan makna yang lebih kaya tentang SABAR. Bahwa manusia tidak akan bisa merasakan makna SABAR jika ia belum berusaha atau bekerja keras. Makna SABAR baru akan terasa lebih indah jika ia telah bekerja keras dan mengerahkan segala daya upaya, tetapi hasilnya belum didapatkan sesuai keinginan. Di situlah, SABAR menjadi lebih bermakna.

Karena itu, kembali ke awal, tugas sebagai hamba, adalah mengembangkan tujuan-tujuan hidup yang lebih positif, bekerja keras mencapai tujuan itu, dan jika belum ada hasil yang memuaskan, bersabarlah. Hasil itu hanya soal waktu, jika kita bersabar, ia akan segera datang…..

Jakarta, 16 Agustus 2007
Akbar Zainudin, MERDEKA